CUCUR
Melanjutkan dari postingan sebelumnya, masih bercerita soal curhat-curhatan. Kenapa secara khusus, padahal kan tiap hari juga, kapan pun aku mau, bisa cucur (baca : curhat-curhatan) gak mesti secara khusus kayak gini. Karena nich sebenernya bukan aku yang mo curhat, tapi disini aku berperan sebagai objek cucur. Oke, mulai aja yuk. Tarik nafas panjang dulu, tanpa bermaksud ghibah.
Beberapa waktu lalu ada temenku, tetanggaan, dateng ke rumah. Dengan opening nya kira-kira seperti ini : “Des, kalo mas R (suaminya) dateng ke sini dan mo pinjem uang lagi, jangan dikasi yaa..”. aduh ada apa nich, kok tiba-tiba? *lanjut* “Soalnya udah gak ada urusan apa-apa lagi ma keluarga aku”.. Loh???
“Iya kemaren suamiku udah diusir ma bapak”.. hah??? Diusir,kok??? Udah cerai?? “ho’oh”.
Aduh mak.. sambil berurai air mata si A (temanku tsb) menceritakan kisahnya bersama sang suami yang ternyata dulunya mereka MBA, terlanjur bunting. Mereka pun nikah siri, dengan dijanjikan lakinya akan menikahinya di depan KUA (nikah resmi), setelah dia punya uang nanti. Maka setelah 9 bulan, lahirlah si anak, perempuan, dengan selamat dan sehat wal afiat.
Lalu gimana dengan orang-orang sekitar? So pasti pada tau. Karena walopun si A tinggal ma ortunya dan gak sama suaminya, si mas R ini selalu dateng ke rumah sang mertua, setor nafkah lahir dan bathin. Gak kayak si bang Thoyib yang udah 3 kali lebaran gak pulang-pulang.
Hari demi hari, bulan demi bulan, sampe menginjak 2 tahunnya si anak, janji untuk menikahi secara resmi belum terpenuhi, dengan alasan belum adanya dana. Akibatnya si anak yang gak berdosa pun kena imbasnya juga. Bahkan akhir-akhir ini gak diizinkan ikut program bulanan Posyandu dengan alasan gak jelas asal-usulnya, serta gak diACC pembuatan akta lahirnya karena ortunya sendiri belom punya kartu keluarga. Yaa gimana mo bikin KK, akta nikah aja belom nampak secara mereka belum nikah resmi.
Sehari kemudian, datenglah mas R ke rumah ku. Pengen cucur juga ma hubby ku. Sebelumnya mereka memang sudah sering ngobrol ngalor ngidul, ga deket-deket amat sich, cuma karena seumuran dan tetanggaan, jadi mungkin bisa enak diajak ngobrol.
Curhatannya kurang lebih gini : bahwa memang benar dia diusir ma keluarganya, sebabnya karena dia pengen ngajak istri semata wayangnya ke kota tempat dia kerja. Biar lebih kerasa bahwa dia udah punya istri dan anak, biar bisa sedikit-sedikit mengumpulkan rupiah untuk masa depannya dan anaknya. Dimana selama ini doi lah yang jadi tulang punggung keluarga istrinya itu. Karena sang bapak mertua yang gak punya pekerjaan dan penghasilan tetap, hanya serabutan. Makanya selama ini tiap pulang kampung, dia setor uang belanja itu bukan ke istrinya, tapi ke ibu mertuanya.
Dan saat ini lah barangkali waktu yang dianggap tepat olehnya untuk mencoba belajar mandiri dengan kemampuan menafkahi keluarga alakadarnya, mengajak anak dan istri ke kontrakannya di kota ia mencari nafkah. Tapi apa yang dia terima, penolakan yang disertai makian dan ejekan dari mertua. Bahwa penghasilannya yang dianggap kurang, gak akan mampu membiayai kehidupan anak dan cucunya itu, serta dengan alasan kalo mereka (anak dan menantunya) belom punya akta nikah. Gimana kalo nanti tinggal serumah, dan digerebek warga sekitar? (yang terakhir ini ada benernya juga)
Sungguh menyakitkan ejekannya itu. Bahkan dikatakannya si menantu yang hanya bermodalkan (maaf) “anu” doank, gimana bisa berumahtangga di kota, terpisah dari orang tuanya.
Ironis yah, seseorang yang selama ini jati tumpuan keuangan itu, kini diejek. Kali cuma sebagai alasan aja biar keluarga besarnya bisa tetep dapet makan.
Gimana dengan si A? Dilema memang baginya. Di satu sisi dia pengen patuh sama ortunya. Di sisi lain dia juga pasti pengen donk membangun sebuah keluarga juga seperti layaknya rumah tangga temen-temennya. Tapi nich dia sendiri gak yakin dengan keinginannya untuk belajar mandiri, makanya dia lebih memilih ortunya.
Demi mendengar penuturan demi penuturan itu , hatiku miriiiis banget rasanya. Tragis. Gak tau siapa yang bodoh, siapa yang kejam, siapa yang jujur, dan siapa yang pembohong.
Yang jelas menurutku dari awalnya aja sudah salah. Dengan MBA itu, banyak fihak keluarga yang dirugikan terutama anaknya sendiri hasil perzinahannya. Walopun mereka sudah menikah (siri), tapi tetep saja kalo awalnya sudah salah maka rumah tangganya pun gak berkah.
Aku jadi mikir, pergaulan seperti apakah awalnya sehingga mereka bisa terjerumus ke dalam jurang yang satu itu?
Na’udzubillah min dzalik. Mari kita para bunda menjaga pergaulan anak-anak kita, jangan sampe dech, sudah banyak contohnya dan akibatnya.
Mari menanamkan pondasi yang kuat, mengukuhkan nilai-nilai agama pada anak-anak kita sejak dini.
