SOSIALISASI BERTETANGGA
Beberapa waktu lalu ada percakapan yang kurang lebih seperti ini :
(telah ditranslate dari bahasa Sunda)
Belio : Kamu itu kok ya ga mau sosialisasi sama orang-orang sekitar (para tetangga).
Aku : Sapa bilang? Aku suka kok gabung ma mereka.
Belio : Mana? Belom pernah aku liat kamu duduk bareng mereka, ngobrol..
Aku : Kamu nya aja yang gak pernah liat.
Lagian emang menurutmu sosialisasi itu apa sich? Kongkow-kongkow? Nongkrong bareng?
Ngomongin orang lewat?
Belio : ……
Intinya belio mempertanyakan ketergabunganku dengan orang-orang sekitar yang dia anggap kurang.
Hmmmmh…
K alo dipikir-pikir ironis memang yah. Pengertian sosialisasi dalam hidup bertetangga banyak yang kurang faham, atau lebih tepatnya, banyak yang sudah menyalah artikan. Banyak yang berfikir bahwa hidup bertetangga itu harus sering-sering berkumpul duduk bareng dengan tanpa mempedulikan apa maksud dari perkumpulan tersebut.
Memang sich bagus, dengan berkumpul duduk bareng berarti telah menguatkan tali silaturrahmi. Tapi coba lihat lagi… apa dengan berkumpul nangkring seperti itu bisa bersih dari yang namanya menggunjing? I say NO dear! Bahkan ga jarang, dengan perkumpulan-perkumpulan seperti itu, orang lewat pun jadi bahan pembicaraan. Bagus kalo yang dibicarakan adalah hal-hal baiknya. Tapi ini sungguh-sungguh sangat jarang sekali.
Ceritanya pernah suatu kali aku coba ikutan dalam riungan para ibu-ibu yang lagi ngobrol di teras depan salah satu rumah tetangga, yang letaknya gak jauh dari rumahku. Dalam waktu GAK LEBIH DARI 15 MENIT saja aku dah dapet info baru, tepatnya gossip. Bahwa ada salah satu tetangga pasangan suami-istri muda yang bentar lagi mo cerai gara-gara suaminya yang impoten…was…wis…wus…. Whattts? Luar binasa yah.. hanya dalam waktu bentar aja. Apa lagi kalo sampe 1 jam 2jam bahkan berjam-jam, bisa ngomongin orang sekampung kalee.
Yang awalnya gak tau, jadi tau. Mana info tersebut belom tentu kebenarannya. Karena biasanya gossip itu berantai, si A dari si B, si B dari si C, dst. Mending kalo berita itu bener dan gak ditambah-tambah. Nah kalo salah dan udah dibumbui, sudah dosalah kita menggunjingkan seseorang. Runtuhlah pahala kebaikan kita karena bergunjing itu.
Coba tengok lagi tentang ibu-ibu yang banyak menghabiskan waktunya, berkumpul di teras rumah tetangga. Gak jelas juntrungannya, ketawa-ketiwi, cakakak-cikikik, bahkan gak jarang mereka menggunjing mencibir sebagaian ibu-ibu (yang gak termasuk dalam komunitas mereka), gak gaul lah, gak merakyat lah dsb. Bahkan mungkin (mudah-mudahan aku salah) mereka teteeep aja asoy kongkow ketika adzan berkumandang pun. Hiiiiih…!
Apakah seperti itu yang dinamakan sosialisasi menurut Anda? Kalo gitu SORRY AKU GAK BISA!
Selain karena aku sebagai WM, aku juga di rumah ga punya asisten RT, so mendingan beres-beres, nyetrika, nyuapin n mandiin si Zaheer, manjain diri di kamar mandi, baca buku dsb. Biar pas suami dateng kerja, udah fresh dan keadaan rumah pun udah agak tertib, setelah seharian diberantakin ma krucil. Lebih bermanfaat mana coba?
Walopun begitu, bukan berarti aku sama sekali gak mau gabung dengan orang-orang sekitar. Bersosialisasi dalam bertetangga menurutku cakupannya : dalam hal muamalah sehari-hari, (mis : jual beli dsb), bertamu duduk sebentar, kerja bhakti sosial, penuhi hak-hak bertetangga (menjenguk jika sakit, saling mendoakan, dsb) tegur sapa, tanya kabar, berbagi kalo ada yang bisa dibagi, dan sebagainya. Bolehlah sekali-kali mengadakan acara bersama, misal dengan diadakan arisan dsb dengan tetap menjaga kehormatan keluarga masing-masing. That’s what I mean.
