Akankah Terkorbankan?
Sambil menunggu hasil tes lab keluar, aku duduk termangu sendiri di sebuah lembaga kesehatan. Mau baca, gak ada buku atau majalah nganggur atau tergeletak yang bisa dibaca. Mau ngajak ngobrol orang, dari sekian orang yang sama-sama lagi nunggu gak ada satu pun yang aku kenal. Mau ngajak kenalan salah satu diantaranya, aku juga gak mau dianggap SKSD.
Tiba-tiba seorang ibu dengan taksiran umur 34 tahun, dipanggil namanya. Rupanya dia sedang menunggu hasil tes urin di lab ini. Dia antrian lebih dulu sebelum aku.
Dengan wajah harap-harap cemas beliau menghampiri si bapak petugas lab. Karena ruangan konsulnya tidak tertutup di sebuah ruangan khusus yang terpisah dengan ruang tunggu, maka dengan jelas agak-agak samar, kami yang di ruang tunggu bisa mendengar kalimat-kalimat yang terucap dari si konsultan dan juga klien??nya. Dan setelah ditanyai ini itu, ternyata perkiraan ku tadi salah. Dia sudah bersuami, yang kebetulan saat ini gak bisa menemaninya karena urusan kerja. Dia juga sudah mempunyai anak.
Daaann.. taraaa … “selamat yah, ibu positif hamil, satu bulan”. Wah..wah.. aku yang dengernya aja ikut seneng. Apalagi suaminya nanti yah kalo sudah di kasi kabar.
Tapi tidak dengan si ibu itu. Dia malah terkejut setengah mateng, dengan muka merah. Yang aku perkirakan lagi, muka merahnya karena gak sanggup nahan perasaan bahagianya yang meletup-letup seperti letupan air yang mendidih di panci, dan pengen segera meraung-raung menangis haru biru. Oh, tapi salah lagi perkiraanku kali ini. Si ibu tersebut dengan tanpa tedeng aling-aling menghiba kepada si konsultan lab. Meminta solusi dengan tanpa merasa salah,
Si ibu : “Pak, hmmmm… gimana ya.. gini loh pak… ngggg… anu… itu loooh… bapak mungkin ngerti…”
Konsultan : “??????????????”
Si Ibu : “ %&*^$#@)$&*!$~#$^^??”:<}0> ”
Konsultan : “Maksud ibu gimana?”
Si Ibu : “yaaah bapak masa gak ngerti juga, okelah saya jelaskan, saya punya anak yang masih kecil, baru berusia 1,5 tahun. Jadi kalo saya sekarang hamil lagi, gimana yah, kan kasian sama anak saya pak…”
Konsultan : “???? ya, memang apa urusan saya? Maksud ibu, mau minta tanggung jawab ke saya, gitu? Saya kan bukan pelakunya..!”
Si ibu : (hadoh.. gak ngerti juga sich???) bukan gitu pak, maksud saya, gimana supaya kehamilan saya ini gak jadi, apakah ada cara buat membatalkannya?? Begitu..”
Konsultan : “Digugurkan maksud ibu??”
Si ibu : (mengangguk maptafff)
Konsultan : “wah.. kalo itu bukan keahlian saya buu, saya hanya berurusan dengan pemeriksaan. Tak bisa lah untuk ‘itu’. Tapi kalo saya boleh menyarankan, fikirkan lagi baik-baik niat spontan ibu barusan … Janin yang sekarang ada di rahim ibu sudah jadi, sudah Allah takdirkan. Dia tidak berdosa, dan memiliki hak untuk hidup, dan ibu lah yang terpilih untuk menjadi sarana baginya terlahir ke dunia ini. Janin ini sendiri kan juga hasil perbuatan ibu dan seseorang di sana yang entah berantah. Salah ibu sendiri mengapa tidak merencanakan kehamilan dengan diprogram.. Allah sudah takdirkan, bagaimana pun kita mencegahnya, kalo sudah dituliskan jadi, ya jadi. Maka sekarang, baiknya ibu syukuri saja kehamilan ini. Banyak para ibu di luaran sana yang tanpa lelah mendambakan punya anak, sampe berobat sana sini, terapi sana-sini demi mendapatkan harapannya mempunyai anak. Sudah bertahun-tahun menikah belum juga dikaruniai anak. Bahkan tak sedikit perpecahan dalam rumah tangga pun terjadi karena alasan belum punya keturunan. Nah ibu, gak perlu bertahun-tahun menunggu, udah mau 2. Ingat itu juga bu.. sekali lagi pesan saya, jalankan dan rawat baik-baik amanah Allah ini”.
Si ibu : “tapi pak *&^((^&*% was.. wes.. wos.. %^*>”:>?< “
Konsultan : “maaf bu, antrian selanjutnya sudah menunggu. Sekian dan terimakasih”
Ah.. fren, apa yah kira-kira yang akan dilakukan si ibu itu selanjutnya..??

